Bantul – Dolanan, atau mainan tradisional masih bertahan di tengah gempuran era modern nan serba digital saat ini. Pasalnya, saat ini masih ada perajin dolanan tradisional asal Bantul yang melestarikan dolanan tersebut, seperti apa ceritanya?
Pantauan detikJogja, tampak seorang nenek-nenek tengah duduk di pintu samping rumahnya di Pandes RT.4, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Sembari duduk dengan posisi kaki yang diluruskan, nenek tersebut mulai mewarnai satu per satu wayang berbahan kertas karton yang tidak terlalu tebal.
Tampak pula jari-jarinya yang telah keriput dengan telaten menggoreskan kuas tradisional ke dalam atas karton tersebut. Alhasil, wayang tersebut berwarna biru tua dan merah.
Tidak hanya wayang, ternyata nenek tersebut juga kerap membuat kitiran, atau kincir warna-warni hingga payung-payungan berbahan dasar kertas. Sedangkan kerangkanya berbahan baku bambu.
Adalah Atemo Wiyono (84), nenek berambut putih ini menceritakan bahwa sudah mengenal dolanan tradisional sejak kecil. Mengingat orang tua dan para pendahulunya merupakan perajin dan penjual mainan tradisional.
“Sejak kecil saya buat dolanan tradisional, ini kan turun temurun dari Simbah. Nah, simbah saya itu memang keturunannya banyak yang jualan mainan tradisional,” katanya.
Menjadi Perajin sejak Zaman Jepang
Sehingga sejak kecil, Atemo kerap memperhatikan bagaimana cara membuat beragam dolanan tradisional. Hingga akhirnya saat penjajahan Jepang, Atemo mulai meneruskan usaha pendahulunya yakni membuat dolanan tradisional.
“Kalau dari kapan mulai buat dolanan ini sejak kecil, jadi dari melihat setiap hari terus bisa. Tapi mohon maaf saya lupa kalau tahun-tahunnya itu tahun berapa. Maklum saya bukan orang sekolahan,” ujarnya disusul senyum.
“Yang jelas kalau zaman Jepang (penjajahan Jepang) saya sudah membuat mainan tradisional,” lanjut Atemo.
Nenek murah senyum ini menjelaskan bahwa ada beberapa jenis dolanan tradisional bisa dibuat dirinya. Di antaranya adalah wayang, kurungan dan burung, kitiran, kipas hingga payung-payungan dengan bahan baku kertas dan pewarna merah, hijau, kuning, dan biru.
“Sekarang yang sering buat itu seperti payung-payungan, kipas-kipasan dan wayang ini. Wayang ini saya menggunting sendiri polanya, terus mewarnai juga,” ucapnya.
Atemo lalu menceritakan pula bahwa dolanan tradisional karyanya dijual ke pasar-pasar mulai dari Bantul hingga Sleman. Menurutnya, untuk menjual mainan tradisional itu memerlukan perjuangan karena harus berjalan kaki menuju pasar-pasar tersebut.
“Kalau dulu dijual di pasar-pasar, baik di Pasar Bantul, Pasar Imogiri hingga Pasar Godean. Dulu itu kalau mau ke Pasar Godean jalan kaki berangkat jam 1 pagi terus nanti pulangnya jam 5 sore,” katanya.
“Terus kalau mau ke Pasar Imogiri berangkatnya jam 3 pagi. Karena zaman dulu belum banyak kendaraan seperti sekarang jadi harus jalan kaki,” imbuh Atemo.
Kini Buat Mainan untuk Isi Kegiatan Sehari-hari
Menurutnya, dengan menjual dolanan tradisional itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat ini menjual dolanan tradisional tidak bisa untuk penghasilan pokok karena banyak saingannya.
“Dulu jualan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sekarang kan tidak. Karena banyak mainan buatan China itu bagus-bagus dan murah-murah,” ujarnya.
Sehingga saat ini Atemo membuat dolanan tradisional untuk mengisi kegiatan sehari-hari saja. Pasalnya, pembeli dolanan tradisional masih ada meski tidak banyak.
“Sekarang membuat seperti ini untuk kegiatan saja. Sekarang saya sudah tidak ke pasar, banyak yang mengambil ke sini,” ucapnya.
Untuk harga wayang, satu buah Atemo patok Rp 6 ribu. Sedangkan untuk payung-payungan Rp 4 ribu dan kitiran Rp 5 ribu per buahnya.
“Kalau sehari bisa buat berapa, sehari itu tidak tentu, semampu saya saja. Jadi kalau lelah ya saya istirahat, dilanjutkan besok lagi, gitu,” ujarnya.
Atemo berharap besar bisa terus membuat dolanan tradisional. Mengingat di usianya saat ini hanya tinggal dirinya yang masih membuat dolanan tradisional.
“Kalau dulu itu banyak yang buat tapi sekarang tinggal saya saja. Jadi sebaya saya itu sudah tidak ada, tinggal saya saja sekarang ini. Tapi alhamdulillah sekarang banyak yang membutuhkan juga (mainan tradisional) jadi ada semangatnya,” katanya.