Timnas Indonesia Makin Eropa Jelang Jumpa Vietnam di GBK

1 . “Timnas Indonesia Makin Eropa Jelang Jumpa Vietnam di GBK”

– PSSI telah mengumumkan daftar 28 pemain Timnas Indonesia untuk menghadapi Vietnam dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), 21 Maret mendatang. Dalam skuad ini ada empat wajah baru.
Keempat pemain baru tersebut adalah Jay Idzes, Nathan Tjoe-A-On, Thom Haye, dan Ragnar Oratmangoen. Ketiga nama terakhir tetap dipanggil Shin Tae Yong meski belum resmi menjadi warga negara Indonesia (WNI).

Namun, ketiga pemain berdarah Indonesia-Belanda ini diupayakan PSSI menjalani prosesi sumpah WNI pada 12 Maret. Kolaborasi PSSI dan pemerintah menjamin rencana ini akan terwujud.

proses naturalisasi ini diupayakan PSSI agar ketiganya bisa tampil saat melawan Vietnam pada 21 Maret di Jakarta dan 26 Maret di Hanoi. Duel versus Vietnam memang krusial.

Jika menang atas Vietnam, kans tim Merah Putih melaju ke fase ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 akan terbuka. Sebaliknya imbang dan kalah akan mengubur peluang.

Saat ini Indonesia menjadi juru kunci Grup F babak kualifikasi dengan poin satu. Di atas Indonesia ada Filipina dengan satu poin, Vietnam meraih tiga poin, dan Irak mengumpulkan enam poin.

Bisakah Idzes, Oratmangoen, Tjoe-A-On, dan Haye membuat penampilan Timnas Indonesia lebih garang dan melumat Vietnam? Tak ada jaminan, tetapi keterlaluan jika tidak berhasil.

Faktanya, Indonesia menang dalam pertemuan terakhir. Dalam duel di Piala Asia 2023 (2024) itu Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan menang 1-0. Ini kemenangan pertama atas Vietnam di era kepelatihan Shin.

Pertanyaan selanjutnya, bisakah pemain-pemain baru ini cepat beradaptasi; segera melebur dengan pemain Timnas Indonesia lainnya; lekas memahami filosofi sepak bola yang diterapkan Shin?

Kualitas Idzes, Oratmangoen, Tjoe-A-On, dan Haye mungkin sudah terukur, tetapi tidak jaminan langsung menyala. Debut Justin Hubner, Shayne Pattynama, dan Sandy Walsh bukti empirisnya.

Bedanya Hubner, Pattynama, dan Sandy debut dalam laga uji coba. Ini tidak berisiko. Sedangkan kini Idzes, Oratmangoen, Tjoe-A-On, dan Haye berpeluang debut di kompetisi yang menentukan.

Bersambung ke halaman berikutnya…

2 . “Antara pragmatisme vs idealisme STY dan PSSI”

Pepatah ‘anjing menggonggong kafilah tetap berlalu’ sepertinya sedang dipakai Shin Tae Yong untuk Timnas Indonesia menjelang laga melawan Vietnam.
Kritik banyak kalangan atas pilihan pemain yang itu-itu saja, diabaikan Shin. Dipertahankannya nama-nama yang kurang bersinar di Liga 1 dan mengabaikan nama-nama yang sedang bersinar, jadi jawaban.

Shin seperti enggan mengambil risiko membongkar pasar skuad secara situasional. Pelatih asal Korea Selatan ini seolah mulai berprinsip pragmatis: yang penting tim menang, persetan yang lain.

Mantan pelatih Korea Selatan di Piala Dunia 2018 ini juga tak henti mencari pemain keturunan Indonesia untuk dinaturalisasi. Shin terkesan putus asa dengan kualitas pemain di dalam negeri.

Sinisme yang muncul dari akar rumput maupun pelaku sepak bola nasional, dianggap angin lalu. Shin tetap teguh dengan pragmatismenya, pemain berdarah Indonesia di seluruh dunia perlu disatukan.

Baginya, persatuan dalam frasa ‘bhinneka tunggal ika’ yang akan membuat Indonesia bangkit. Menurutnya dikotomi darah murni dan darah campuran tak relevan lagi di dunia serba digital ini.

Namun pragmatisme ini bisa masuk kategori idealisme. Pemain muda yang terus dikritik karena tak tampil optimal di Timnas, terus mendapat kepercayaan. Ini pembibitan ala Shin.

Pelatih 53 tahun ini seperti sedang merawat talenta muda yang belum matang seperti Rafael Struick, Hokky Caraka, Ramadhan Sananta, Marselino Ferdinan, dan Pratama Arhan tetap berkembang.

Menarik pula apakah Rizky Ridho, sebagai representasi bek terbaik Indonesia saat ini, dipakai atau tidak. Dikepung bek-bek ber-DNA Eropa, jadi tantangan tersendiri bagi Shin dan Ridho.

Membangun Timnas Indonesia dengan pragmatisme dan idealisme milik Shin bisa diperdebatkan, tetapi masa depan sepak bola Indonesia harga mati. Nilai pemain bola nasional tak boleh terus didegradasi.

Jika PSSI menilai program naturalisasi adalah rencana jangka pendek, ada saatnya untuk berhenti. Shin boleh pragmatis, tetapi federasi sepantasnya idealis menjaga nilai-nilai mewah pembinaan.

Scroll to Top